Senin, 24 Januari 2011

Inspirasi : Tela Krezz, Makanan 'Wong Ndeso' Beromzet Miliaran Rupiah

Suhendra : detikFinance
detikcom - Jakarta,
Makanan lokal kadang kala tak
terlalu banyak dilirik oleh
banyak orang sebagai potensi
bisnis yang menggiurkan. Namun
lain halnya dengan Firmansyah
Budi, pendiri Tela Krezz ini, yang
sudah sejak tahun 2006 memulai
bisnis kemitraan makanan
olahan singkong atau ketela
(cassava) Tela Krezz (singkong
goreng berbumbu).
Kisah Firmansyah membangun
bisnis makanan olahan singkong
dengan bendera Tela Krezz
berawal hanya dari satu grobak
pinjaman ibu-nya dengan modal
awal Rp 200.000. Dari situ ia
mulai memiliki keyakinan bahwa
bisnis makanan olahan dari
singkong sangat berprospek.
Menurutnya, sangat malu sekali
jika Indonesia masih terus
mengimpor bahan baku pangan
yang memang tak bisa
berkembang baik di Indonesia
seperti gandum. Saat ini kata
dia, Indonesia termasuk negara
penghasil singkong terbesar
ketiga di dunia dibawah Brazil.
Keyakinannya akhirnya
terjawab, sekarang ini ia sudah
memiliki ratusan mitra Tela
Krezz dengan omset yang
menggiurkan. Firmansyah
terinspirasi mengangkat pangan
singkong menjadi makanan
olahan karena saat ini pasar
pangan dalam negeri sudah
dibanjiri produk pangan impor
seperti kedelai, tepung gandum,
jagung, dan masih banyak
lainnya.
"Ini berawal dari keprihatinan
saya, sekarang ini bahan baku
makanan semuanya gandum,
yang impor. Kenapa tak pakai
content lokal," kata Firmansyah
kepada detikFinance, akhir
pekan lalu.
Firmansyah yang lulusan Sarjana
Hukum ini, awalnya tak langsung
menceburkan diri ke ranah
bisnis. Semenjak lulus kuliah
2004, ia masuk LSM bidang
pembangunan komunitas
(community development), dari
situlah matanya terbelalak soal
banyaknya kasus bermasalah
TKI diluar negeri yang harusnya
bisa dicegah jika ada lapangan
kerja di dalam negeri.
"Sekarang saya sudah punya 60
karyawan langsung, belum yang
outsourcing," kata Firmansyah
yang kini merupakan salah satu
dari finalis Wirausaha Mandiri itu.
Semangat inovasinya
mengembangkan pangan
singkong bukan hanya sebatas
Tela Krezz, ia juga
mengembangkan produk Tela
Cake semacam brownies dari
singkong, kue Bika Ambon,
Bakpia, Keripik Singkong dan
lain-lain.
"Saya mimpinya kedepan, orang
bisa aware dengan produk lokal
kita, kalau tidak maka kita akan
tergusur," katanya.
Menurut pria kelahiran
Semarang, 5 Desember 1981 ini,
mengolah makanan seperti
singkong yang sudah terlanjur
dipandang sebagai makanan
'ndeso' memang perlu upaya
keras. Konsep makanan Tela ia
kembangkan dengan membuat
makanan singkong lebih
moderen dan menarik.
"Kenapa saya tak mau disebut
sebagai brownies, saya ingin
dengan nama tela cake. Jadi
kalau kita bisa olah dengan
moderen dan dinamis, kita bisa
ubah mindset makanan wong
ndeso ini jadi moderen. Harus
diubah mindsetnya, makanan itu
kan karena kebiasaan,"
jelasnya.
Untuk urusan pemasaran,
Firmansyah sengaja
mengembangkan pemasaran
Tela Cake dengan konsep
makanan oleh-oleh asli
Jogjakarta. Ini penting untuk
memperkuat image Tela Cake
sebagai makanan khas, meski ia
pun berencana memasarkan
produk tersebut ke pasar ritel
umum namun dengan merek
yang berbeda.
Ia mengaku saat ini mampu
menjual 1000-1500 paket Tela
Cake. Harga satu paket Tela
Cake dibandrol hingga Rp
28.000, tentunya sudah
terbayang berapa omset dari
Firmansyah dari hanya menjual
brownies ala singkong tersebut.
Ini belum dihitung dari produk
Tela Krezz-nya yang lebih
dahulu ia kembangkan.
Masih seputar pangan lokal,
upaya Firmansyah tak cukup
disitu. Pada tahun 2009 ia juga
mengembangkan produk olahan
cocoa atau kakao menjadi
makanan coklat yang lezat dan
menarik. Kali ini, Firmansyah
membentuk divisi khusus di Tela
Corporation yang menjadi
bendera resmi usahanya.
"Mulai 2009 saya juga membuat
produk coklat roso (cokro),
yang juga berkonsep makanan
oleh-oleh Jogjakarta," jelasnya.
Keinginannya mengembangkan
produk coklat, kurang lebih
sama dengan kegusarannya
terhadap produk tepung
pangan impor. Menurutnya
Indonesia, merupakan penghasil
kakao yang diperhitungkan di
dunia, namun minim memiliki
produk olahan coklat.
Jika pun ada, produk coklat
olahan di pasar Indonesia
berasal dari impor dan
bermerek asing. Ia berharap
coklat buatannya bisa menjadi
pilihan pasar dan bisa
mematahkan dominasi produk
coklat asing di pasar Indonesia.
"Visi saya bagaimana melakukan
pemberdayaan pangan lokal,"
katanya.
Sehingga kata dia, dengan
pemberdayaan pangan lokal
serapan tenaga kerja lokal
semakin tinggi misalnya jika
singkong dikembangkan maka
berapa banyak petani yang bisa
hidup, berapa banyak kuli
panggul yang bekerja, berapa
banyak pekerja pemotong
singkong yang terserap dan
lain-lain. Meskipun dengan
idealisme yang tinggi,
Firmansyah tak gigit jari,
usahanya yang dirintis sejak
2006 sudah membuahkan hasil
yang fantastis.
"Kalau dihitung-hitung omset
saya sampai ratusan juta per
bulan. Setahun bisa sampai Rp
10 miliar lebih," katanya.
Bagaimana mau mencoba
dengan pangan-pangan lokal
lainnya?
Firmansyah Budi
Jl. Bugisan 36, Patangpuluhan,
Wirobrajan, Yogyakarta 55251
Email: homygroup@yahoo.com

Tidak ada komentar: